Rahasia Dibalik Sebuah Foto Tua : Si Anak


By: SimpleMan


cerita yang akan saya bawakan malam ini, adalah cerita masa kecil seseorang yang dulu, pernah tinggal disebuah yayasan panti asuhan yang didirikan oleh sebuah keluarga, dimana, dalam pengalamannya, dia menemukan keganjilan2, sebuah rahasia besar yang tersembunyi dibalik dinding 
sebuah cerita, yang akan membawa kita, melihat kilas balik dari rangkaian peristiwa yang ia pernah alami,

satu pesan saya, jangan pernah membandingkan cerita ini dengan cerita lain, karena saya sendiri percaya, setiap cerita memiliki warnannya sendiri, dan mari kita mulai.. 
14 juni, 2004

siang terik itu, lebih tenang dari biasanya, seorang wanita bungkuk yg tengah bersusah payah dalam berjalan itu tengah menyusuri lorong rumah, wajahnya lelah, namun, masih tersirat sebuah semangat dari balik keriput kulitnya, lantas, ia duduk seorang diri, merenung 
"nduk" teriaknya, suaranya lembut, lebih terdengar sumbang dari biasanya

datang, seorang gadis kecil, menatapnya, si wanita tua itu, tersenyum lalu mengatakannya, "Nia, panggil adik-adik kamu, mbok mau bicara sama kalian semua ya"

tanpa bertanya, Nia menuntaskan tugasnya, 
ruang tamu yang sepi itu, kini ramai, ada lebih dari 6 anak, mereka duduk, menatap si mbok yang selama ini sudah merawat mereka, menjaga mereka, memberikan perlindungan didalam rumahnya, namun, hari ini, terdengar sebuah berita, bahwa si mbok, sepertinya, tidak akan ada lagi, 
tidak untuk bisa menjadi figur yang akan menemani mereka, karena seminggu yang lalu, Nia mendengar bisik-bisik, bahwa yayasan yatim piatu milik mbok Sarni, akan dijual, meski berat, Nia yang pertama tahu, bahwa bisa saja hari ini, ia akan berpisah dengan adik-adik kecilnya. 
"mbok sayang kalian, itu yg harus kalian tahu ya, le, nduk" ucapnya, "tapi sepertinya, mbok tidak bisa lagi, menjaga kalian, jadi, mbok mau langsung bilang saja, esok, pak Ridwan, akan mengantar kalian, ketempat baru, kerumah baru, dan mbok berharap, kalian tetap jadi anak baik" 
tidak ada suara yang menjawab ucapan mbok Sarni, tidak bahkan Nia sekalipun, rasa sedih seperti berputar diruangan itu, semua anak, kemudian pergi, satu persatu, bermain, mencoba melupakan luapan kesedihan itu

mbok Sarni melihat Nia, lantas memanggilnya lagi, "Nia kesini nduk" 
"dari adik-adikmu, kamu yg paling besar, paliang kuat, paling ngerti, si mbok cuma mau bilang, semoga, ditempat yg baru, kamu temukan keluargamu, mbok cuma berpesan, jangan lupa sama mbok ya,"

"Nia mau dibawa kemana memang mbok" tanya Nia, ia sudah mendengar, bahwa, hanya Nia, 
yang akan dibawa pergi, paling jauh, berpisah dengan semua adik-adiknya disini, karena, untuk usia Nia, tidak ada yg mau menerimanya, kecuali, yayasan Su******, yang ada jauh, di ja*****g**, mbok mencium kening Nia untuk terakhir kalinya, sebelum, hari itu tiba, Nia pergi 
12 jam sudah dilalui dengan mobil, pak Ridwan berkali-kali menghibur Nia, ia akan suka dengan keluarga barunya, di yayasan yang baru ini, banyak anak yang mungkin sesusianya, meski ucapan pak Ridwan cukup menghibur Nia, ia merasa, berpisah dengan adik-adik angkatnya, sangat berat 
sampailah, Nia, disebuah rumah besar, namun gaya bangunannya tua, halamanya luas, dipenuhi oleh rimbun berbagai macam tanaman, Nia digandeng oleh pak Ridwan, melintasi pagar besi yang berkarat, ia mengguncang lonceng didepan pintu, tiba-tiba, pintu terbuka, dan seorang melintas, 
sebuah mobil ambulance terparkir didepan rumah itu, awalnya, pak Ridwan tidak mengerti, kenapa ada mobil ambulance disana, namun, pertanyaanya terjawab, dari balik pintu, 2 orang petugas, tengah membopong seseorang, tdak terlalu tinggi, mungkin setinggi Nia, ia ditutup kain putih 
dari saat mereka melintas, tercium amis darah, Nia, bisa melihat dengan jelas, ada yang ganjil dari siapapun yang dibawa oleh petugas itu.

kemudian, mata Nia dan pak Ridwan, teralihkan pada sosok yang tengah berdiri, tersenyum kepada mereka

selamat datang, di yayasan kami. 
seperti yang Nia duga saat ia melihat rumah itu, bangunanya tua, mungkin sudah dibangun sejak lama, lantainya masih menggunakan bahan tegel, selain itu, ornamen didalam rumah hanya diisi oleh foto-foto tua, dengan rak-rak buku dan kayu jati ukir, tidak ada yg menarik, kecuali, 
sebuah foto, ukurannya lebih besar dari ukuran foto lain, seorang wanita, tengah duduk memandang ke kamera, foto itu tidak berwarna, seperti foto tua kebanyakan, namun, bila dilihat lebih teliti, si wanita dalam foto tampak berpose tengah menggendong sesuatu, layaknya seorang ibu 
"namanya Nia, seharusnya, tahun ini, ia menginjak kelas 1 smp, saya sudah mendapat amanat dari mbok Sarni, untuk mengantarkannya, semoga, ia diterima dengan baik disini" ucap pak Ridwan

si wanita tersenyum menatap Nia, suaranya dingin, "tentu saja, disini, kami siap menerimanya" 
sore itu, pak Ridwan memberikan salam perpisahan kepada Nia, ia mengatakan, salah satu pamong (pengurus) di yayasan ini adalah teman baik mbok Sarni, untuk itu, beliau percaya, bahwa Nia akan diurus dengan baik.

kepergian pak Ridwan, membuka lembaran baru kehidupan Nia, 
Nia menghadap wanita itu, ia memperkenalkan dirinya sebagai salah satu pamong yang mengawasi anak-anak, rumah ini, memang besar, banyak kamar tersedia, namun, tidak semua kamar terisi, karena beberapa kamar, memang sengaja, dibiarkan kosong, untuk apa, tampaknya, itu rahasia 
"disini, bila memanggil pamong, panggil namanya saja, tapi, diawali dengan Ni ya, kenalkan, nama saya, ni Elin" ucapnya, dari gelagat cara ia bicara, ni Elin terlihat sangat tegas, terkesan sangat galak, Nia mengikuti beliau, ia membawa Nia menaiki anak tangga. 
ada yang Nia selalu perhatikan ketika ia melewati pintu-pintu dikoridor, terutama, dibagian sudut pintu, ia melihat disetiap pintu, ada lonceng yg terpasang, aneh, ni Elin berkali-kali mencuri pandang lewat ekor matanya, ia selalu tersenyum, saat Nia berhasil melihat tatapannya 
"ada yang ingin saya sampaikan, selama tinggal dirumah ini, aturan adalah mutlak, bila tidak menuruti aturan disini, konsekuensi akan menjadi pembelajaran bagi mereka yg melanggarnya" ni Elin, membuka pintu, "kamarmu nak" 
Nia melangkah masuk, sebuah ruangan yg tidak terlalu besar namun cukup lega untuk menjadi kamarnya. kecuali, ia melihat ranjang bertingkat disana.



"teman sekamarmu, nanti, akan pulang, nanti saya kenalkan sama semua anak yg ada disini, istirahat dulu" ni Elin menutup pintu 
aroma debu dari tembok tua, dan sejumblah perabotan usang, Nia melihat setiap detail yang bisa ia amati, sukar, bila harus tinggal ditempat yg kotor seperti ini.

sesaat kemudian, Nia melihat sesuatu dijendelanya, Rumah ini, memiliki 2 lantai, tempat kamar Nia berada, disana, 
di jendela, Nia bisa melihat langsung ke halaman belakang rumah, pemandangan langsung yg bisa Nia nikmati, namun, dari jendela itu, Nia juga bisa memperhatikan sekitar. lingkungan rumah yang dipenuhi pepohonan rimbun dengan area rumput beserta alat bermain untuk anak-anak. 
karena terlalu penat, setelah menempuh perjalanan jauh, Nia memutuskan untuk beristirahat, ia merebahkan tubuhnya, kemudian terlelap dalam tidurnya. 
mungkin karena terlalu lelah, hingga Nia tidak sadar, seseorang, tengah bernafas tepat diwajahnya, hal itu, membuat Nia terbangun dan membuka mata, ia tersentak saat melihat seorang gadis kecil, menempelkan wajahnya, mengamatinya, lantas tersenyum dengan gigi bugisnya. 
masih mengenakan seragam sekolah, gadis itu terus melihat Nia, memperhatikannya dengan seksama, seperti mengamati Nia, membuat Nia merasa tidak nyaman

"ahu, inga inini ua" ucap gadis itu

Nia tidak mengerti ucapannya, lantas kemudian melangkah keluar kamar, meninggalkan si gadis 
Nia menuruni anak tangga, mencari ni Elin, saat Nia sedang mencari-cari keberadaan ni Elin, Nia bertemu dengan seorang wanita, ia berperawakan besar, mengamatinya lantas bertanya.

"nduk, kamu yg tadi baru datang"

Nia mengangguk, "kamu cari siapa?"

"ni Elin" 
"memangnya ada urusan apa?" tanya si wanita.

"dikamar saya, ada anak kecil, saya tidak mengerti itu siapa dan kenapa cara bicaranya seperti itu" sahut Nia,

"oh begitu" ucap wanita itu, mengantar Nia kembali ke kamar, "dia yg akan menjadi teman sekamarmu" "maaf, dia tunawicara" 
Nia melihat gadis itu, si wanita memperkenalkan nama gadis kecil itu, "Silvi, namanya Silvi" "kalian yg akrab ya, kalau ada apa-apa, panggil saja saya, nama saya, ni Eva"

ni Eva menutup pintu, lantas meninggalkan Nia, Silvi, ucap Nia, ia seakan mengamatinya, canggung 
setiap kali Silvi bicara, Nia hanya mengangguk, ia tidak mengerti, tidak memahami maksud setiap ucapannya, bahkan ketika Silvi, menawari Nia berkeliling rumah, Nia hanya mengangguk, padahal tidak mengerti maksud ucapannya, hingga, Silvi menarik Nia, mereka keluar dari kamar 
berjalan melintasi koridor, melewati kamar demi kamar, sampai akhirnya berhenti dihalaman belakang, Nia bisa melihat jendela kamarnya darisini, Silvi terus bicara, namun, Nia tidak mengerti setiap ucapannya, sampai, mata Nia teralihkan pada sebuah kamar, Nia tertuju menatapnya 
dibalik sebuah tirai putih transparan, Nia melihat seseorang mengamatinnya, wajahnya tersamarkan tirai putih, namun Nia yakin, sosok itu melihat kearahnya

Silvi menatap Nia, lantas menarik kepalanya, ia menggelengkan kepala dengan keras, menarik Nia, kembali masuk kerumah 
Silvi terus bicara dengan nada suara yg tergopoh-gopoh, membuat kalimatnya semakin rancau didengar telinga, ia mengatakan "iaaak iaaak iaaak" terus menerus, membuat Nia merasa, bahwa Silvi ingin mengatakan sesuatu.

apa itu, "iaaaak" 
"gak usah didengerin apa yg diomongin anak itu, gak bakalan ngerti juga kamu" seorang anak lelaki, mungkin seumuran dengan Nia keluar, satu kakinya disanggah menggunakan tongkat kaki

"kalau sudah sore gini, mending masuk kamar saja, cuma saran" kata anak lelaki itu 
Nia mengajak Silvi kembali ke kamar, tempat ini, sangat berbeda dengan tempat tinggalnya sebelumnya, anak-anaknya, bahkan tidak terlalu nampak, bahkan, Nia merasa, yayasan dengan rumah sebesar ini, terkesan sepi, dan menimbulkan perasaan yg mencekam setiap ia berdiri dilantainya 
hal yg membuat Nia tidak nyaman adalah ketika setiap kali ia membuka pintu, terdengar suara lonceng yg membuatnya merasa begidik, bukan hanya lonceng pintunya, namun, lonceng dipintu lainpun sama, membuat Nia bisa mendengarnya, bahkan saat ada didalam kamar sekalipun 
setiap malam, suasana sepi semakin membuat Nia merasa merinding, pemandangan ke taman tentu berbeda dengan pemandangan ketika Nia melihatnya saat siang hari, Nia menyibak tirai, sementara Silvi, ia terus memandanginya dari ranjang atas, hal itu, sangat tidak menyenangkan 
seseorang mengetuk pintu, memanggil Nia dan Silvi, "makan malam" teriaknya, Nia melangkah keluar, mengikuti Silvi menuruni anak tangga, menuju dapur, dimana semua anak-anak sudah berkumpul, ia melihat anak lelaki itu, dan tentusaja, anak-anak yg lainnya 
ada sekitar 7 anak, 4 diantaranya adalah perempuan, termasuk Nia, sisanya, anak laki-laki, selama mereka makan, tidak ada suara apapun, tidak ada yg saling bicara, hanya dentingan sendok dan piring yg terdengar, bahkan Silvi tidak bersuara sedikitpun, mereka seperti terlatih diam 
dari semua anak yg ada disini, Nia mengamati wajah mereka, sibuk dengan makanannya sendiri, hal itu, membuat suasana benar-benar canggung, saat Nia membuka percakapan, semua mata langsung memandanginnya, canggung, lalu mereka kembali pada makanannya 
setiap satu dari mereka sudah selesai makan, mereka membawa piring, sendok dan gelas, mencucinya, kemudian meletakkannya diperabotan yg sudah ditentukan, tidak ada ucapan, tidak ada kalimat pamit, mereka pergi, berlalu, begitu saja, bahkan, langkah kakinya, tidak bersuara 
Silvi baru saja selesai, Nia melakukan hal yg sama, kemudian, ia melihat ni Eva, ia memanggil Nia, mengantarkannya pada sebuah ruangan, dimana disana, ada ni Elin dan seorang wanita tua.

"Nia ya" "selamat datang sebelumnya, maaf, saya baru pulang jadi tidak bisa menyambut kamu" 
"Nia sudah tahu peraturan disini, saat jam menunjukkan pukul 9 malam, tidak boleh ada yg keluar kamar, sebenarnya, boleh saja, bila memang ada keperluan ke kamar mandi, namun, setelah selesai, langsung kembali ke kamar ya. paham" ucap wanita tua itu. 
Nia mengangguk.

"nama saya ni Ika, saya kepala pamong disini, bila ada yang mau Nia tanyakan, silahkan, tanyakan saja"

Nia menatap ni Ika, ia seperti menunggu Nia bicara, ada hal yg sangat ingin ia tanyakan, namun tampaknya, Nia mengurungkannya. ia kembali ke kamarnya. 
dikamar, Silvi sudah ada diranjang atas, melihat Nia melangkah masuk saat suara lonceng itu berbunyi, Nia langsung pergi ke ranjangnya, melihat Silvi, menunjukkan kepalanya dari atas, melihatnya dengan tatapan seperti biasanya

"sudah malam, tidur" kata Nia, Silvi mengangguk, 
Malam, semakin larut, namun, Nia belum juga bisa memejamkan matanya, ia melirik jam kecil diatas meja, sudah pukul 12 malam, ia terbangun, lalu duduk diranjangnya, mengamati situasi, mungkin Silvi sudah tidur, tiba-tiba, terdengar suara lonceng yg berbunyi dari luar, 
awalnya, ia hanya mendengar satu lonceng, Nia mendengarkan dengan seksama suara itu, siapa yg keluar jam 12 seperti ini

Nia kembali tidur, memejamkan matanya, sebelum, suara lonceng berdenting, terus menerus, Nia yg mendengarnya, terbangun dari tidurnya. 
suara-suara itu membuat Nia merasa tidak tenang, seakan puluhan pintu dibuka secara bergantian, hal yang membuat Nia penasaran, namun, ketakutan seperti mengurungnya, ia menutup telinganya dengan bantal, membiarkan suara itu, menghilang dengan sendirinya. 
keesokan paginya, Nia membuka kamar, ia melihat dengan seksama, namun, tampaknya tidak ada yg terjadi ditempat ini, Silvi sudah berganti seragam, menyapa Nia, lalu melangkah pergi, bergabung bersama anak-anak lain, mereka menuju sekolahnya masing-masing. 
"ibuk pengen kamu sekolah, ibuk sudah mengurus surat-suratnya, besok, mungkin kamu sudah bisa ikut bersama yang lain" kata ni Ika, tersenyum

"iya ni, terimakasih" sahut Nia, selama dirumah, Nia penasaran, sebesar apa rumah ini, ia kemudian, menelusuri sejengkal demi sejengkal 
Nia masih mengawasi stiap pintu, selalu saja ada lonceng diatasnya, hingga, Nia melihat sebuah ruang, dengan anak tangga yg terputus, tempat itu, cukup sulit diakses karena latarnya yg jauh dibelakang, anehnya, hanya ada satu pintu disana, dan tepat dipintu itu, tidak ada lonceng 
namun, Nia tahu, tidak ada cara untuk kesana, tangga kayu itu seperti sudah lama patah

Nia berbalik, berniat kembali ke kamar, sebelum, ia mendengar, seseorang, seperti menggaruk pintu darisana, suaranya terdengar hingga Nia merasa, ada orang didalam sana. 
Nia langsung pergi, ia meninggalkan tempat itu, seperti apa kata hatinya, tempat ini, jauh dibelakang, dan aksesnya yang benar-benar sulit, ia merasa, tempat itu adalah tempat wingit, dari suasananya, Nia bisa membaca, bahwa sebagian rumah ini, rupannya tidak diurus dengan baik 
Nia kembali ke kamar, menutup pintu, ia memutuskan menghabiskan waktu tidur diatas ranjang, namun, ketika Nia merebahkan badannya, ia melihat sesuatu di meja, sebuah foto kecil hitam putih, ia baru menyadari, bila di meja itu, ada pigura menyerupai liontin dengan foto kecil 
disana, ia mendapati foto wanita yg sama, ia mengenakan pakaian yg sama persis, dengan foto yg Nia lihat diruang tamu.

"Siapa wanita itu""sepenting itu kah dia, sampai fotonya ada dimana-mana"

Nia meletakkanya, menunggu sendirian, tanpa Silvi, tempat ini lebih sunyi. 
terdengar lonceng berbunyi, Nia terbangun dan melihat Silvi melangkah masuk, melemparkan tasnya serampangan, kemudian melepaskan sepatu dan seragam sekolahnya, Nia bangun untuk membereskannya, meletakkan dimana seharusnya benda itu berada.

ia merasa, Silvi seperti adik kecilnya 
seperti biasa, Silvi mulai bicara banyak, dan dari pembicaraan yg banyak itu, Nia hanya mengangguk, tidak ada satupun kalimat yg ia mengerti, kecuali, saat ia meragakan gerakan untuk minum, Nia baru mengerti, Nia dan Silvi, melangkah pergi, menuju dapur 
ditengah perjalanan, Nia bertemu seorang perempuan, wajahnya tampak menyelidik, ia menatap Silvi kemudian Nia bergantian, lantas kemudian mengatakannya,.

"kalau aku jadi kamu, aku akan menghindari anak ini"

perempuan itu melewati Nia begitu saja, sembari meilirik jijik Silvi, 
meski perempuan itu mengatakan hal itu didepan Silvi, ia tampak tidak perduli, lebih tidak tahu maksud kemana ucapan perempuan itu tadi, mereka pergi kedapur, setelah selesai, Silvi, berjalan menuju tempat yang Nia hindari, Nia memanggilnya, tapi Silvi justru menuju kesana 
ia berhenti tepat didepan pintu itu, melihatnya, kepalanya mengadah keatas, seakan menunggu sesuatu keluar darisana, Nia yg melihatnya, menariknya, "ngapain disini, ayo kembali"

Silvi mengangguk, ia mengikuti Nia, namun kepalanya, masih melihat ke pintu itu. 
Makan malam seperti biasanya, tidak ada pembicaraan apapun, setelah selesai, semua kembali ke kamarnya masing-masing, sekarang, Nia tahu, Silvi belum bisa menulis huruf, aneh, untuk anak seumurannya, seharusnya setidaknya ia sudah mengenal huruf-huruf, namun, kenapa ia belum bisa 
dibandingkan bicara, Nia lebih tahu apa yg coba Silvi sampaikan melalui gerakan tangan, seperti minum, seperti tidur, seperti makan, namun, adakalanya, ia tidak mengerti, gerakan apa yg coba Silvi sampaikan, meski begitu, Nia bersikeras mengajari anak itu, ia harus bisa menulis 
malam semakin larut, Silvi sudah beranjak dari ranjangnya, ia memilih ranjang atas, entah kenapa, padahal, bila mendengar dari cerita ni Elva, Silvi, sebenarnya, tidur diranjang bawah, seperti saat dia tinggal bersama teman kamarnya dulu. 
saat Nia bertanya kemana teman sekamar Silvi, ia berhenti sejenak, ia tampak diam, memandang Nia, lalu tersenyum dan mengatakan "teman sekamarnya, sekarang sudah punya keluarga baru" lalu ia pergi, meninggalkan Nia sendirian, seperti terkesan buru-buru pergi, 
malam itu, Nia sudah menyibak selimut, kantuk mulai menyerangnya, Nia memejamkan matanya, sebelum, Silvi memainkan rambutnya, ia menatap Nia, kemudian menunjuk gerakan, bahwa ia ingin ke kamar mandi,

Nia menatap jam di meja, pukul 1 dinihari, ragu, namun Silvi memelas, 
Nia melangkah turun, menggandeng tangannya, ketika membuka pintu, Nia mencoba untuk tidak membuat lonceng itu berbunyi, namun, sia-sia,

Nia menutup pintu, lantas mengantar Silvi menuruni anak tangga, ia menuju kamar mandi yg jaraknya tidak terlalu jauh dari dapur 
Nia menunggu diluar, saat malam hari, rumah ini menjadi gelap temaram, meski masih ada pencahayaan disana-sini, namun, karena besarnya rumah ini, sehingga, ada sisi gelap yang masih membuat Nia merasa ngeri saat menatapnya.

lama ia menunggu Silvi, gadis itu, tidak juga keluar 
kemudian, terdengar lonceng berbunyi, Nia mengamati sekeliling, apa ada yg juga keluar dari kamar, namun, tidak ada satupun orang yg Nia lihat, perlahan, bulukuduk Nia berdiri, ia bisa merasakan bahwa sekarang, ia tidak seorang diri disini

"Silv, udah belum"

tidak ada jawaban 
Nia melangkah masuk, ada beberapa pintu dikamar mandi, Nia mengamati satu persatu, mengetuknya, sembari memanggil gadis itu, namun, tidak ada jawaban, dan kembali, suara lonceng, terdengar lagi

Nia yakin, suara itu adalah suara lonceng kedua kalinya yg ia dengar 
salah satu pintu terbuka, Silvi melangkah keluar, membuat Nia merasa lega, ia segera menarik tangan gadis itu, membawanya agar ia cepat kembali ke kamar, namun, tiba-tiba gadis itu menarik tanganya dari Nia, ia berhenti, tepat disebuah lorong, lantas, Silvi memandang sisi kosong 
Silvi menatap Nia, lantas kemudian berbicara "Iaaak Iaaak iaaak!!"

Nia yg tidak mengerti maksudnya, menatap ruang kosong itu, disana, dilorong itu, banyak pintu dikiri dan kanannya, yang entah bagaimana, tiba-tiba lonceng diatasnya, berdenting dengan sendirnya, 
lantas, Nia kembali memaksa Silvi, kali ini, ia memaksanya, mereka berlari, menaiki anak tangga, dan seketika itu, lonceng diatas semua pintu mulai berdenting satu persatu, Nia membuka pintu, menguncinya, namun, suara lonceng masih berbunyi, Silvi kemudian menatap Nia 
ia memperagakan gerakan untuk menutup bibir dengan telunjuknya, saat, terdengar suara sesuatu tengah mencakar pintu tempat Nia bersandar,

"IAAAK" ucap Silvi dengan suara pelan.. 
setelah beberapa lama, keheningan membuat Nia sadar dari ketakutannya, ia lantas menuntun Silvi agar kembali ketempat tidurnya, sebelum, Nia mendengar, suara lonceng itu kembali, pintu kamar yg sudah Nia kunci, tiba-tiba terbuka dengan sendirinya 
ni Elin muncul, ia menggandeng tangan Silvi, lantas menatap Nia yg sedang memanjat ranjang milik Silvi, mata mereka bertemu, "kamu, kalau ngantar Silvi ke kamar mandi, jangan ditinggalin sendirian"

Nia berbalik menatap ranjang Silvi, disana, ia tidak menemukan gadis itu 
"kamar juga kenapa dikunci, teman sekamarmu belum masuk, untung saya punya kunci cadangan" ucap ni Elin marah, ia menggandeng Silvi, Nia hanya diam saja, ia tidak tahu harus berkata apa, karena ia yakin, ia bersama Silvi beberapa waktu yang lalu.

"ya sudah, istirahat lagi ya" 
ni Elin pamit pergi, saat pintu kembali ditutup, suara lonceng itu mengakhiri semua peristiwa ganjil malam ini

Silvi tidak marah kepada Nia, ia, mengatakan sesuatu kepada Nia sebelum pergi ke ranjang tidurnya, sebuah kalimat lain

"ang amu awa iuuu iaaak" sembari tersenyum 
"Nia, bangun nak"

Nia baru membuka mata, ia melihat ni Eva tengah berdiri disamping tempatnya tidur, ia ingat apa yg terjadi, kejadian semalam, seperti kembang tidur saja, lantas, Nia berdiri memberi salam kepada ni Eva

"kamu ditunggu ni Ika, sekarang ya"

Nia mengangguk 
Nia melangkah menuruni anak tangga, lantas, ia berjalan menyusuri lorong, tiba2, Nia melihat seorang anak lelaki yg biasa ia lihat di meja makan, Nia berpapasan dengannya

"si Anak" gumam anak itu tiba2, entah benar atau tidak, Nia yakin, kalimat itu yg anak lelaki itu gumamkan 
Nia mengetuk pintu, dari dalam terdengar suara ni Ika yg menyahut, "masuk"

Nia membuka pintu, ia melihat, wanita paruh baya itu tengah duduk, tatapannya menyelidik, sebelum ia tersenyum mempersilahkan Nia duduk.

"sini nak, duduk" katanya lembut, 
"ada apa ni" tanya Nia, dari semua 3 pamong yg ada disini, ni Ika adalah yg membuat Nia merasa was-was, mungkin karena beliau yg memiliki garis wajah yg keras, membuat Nia merasa terintimidasi, selain itu, umur ni Ika yg paling tua bila dibandingkan dengan ni Elin apalagi ni Eva 
"jangan gugup begitu" sahut ni Ika, ia menurunkan kacamata yg sedari tadi terpasang di wajahnya, lantas, ia menatap Nia lagi,

"saya sudah mengurus semua urusan kamu, kamu mau ya sekolah sama seperti yg lain, ibuk pengen kamu sama seperti yg lain, bisa melanjutkan pendidikan" 
Nia mengangguk sembari menjawab "inggih buk" katanya,

untuk kali ini, Nia bisa melihat garis keras di wajahnya, melunak, Nia juga menatap senyuman di bibirnya, Nia merasa, mungkin, ni Ika memang seperti itu, tugas beliau sebagai ketua pamong membuat banyak orang salah menilainy 
namun, ketika Nia pikir alasan kenapa ni Ika memanggilnya selesai, tiba-tiba, ni Ika menannyakan sebuah pertanyaan yg aneh,

"gimana, kerasan gak tinggal sama Silvi?"

Nia yg mendengar itu, menatap mata ni Ika tampak menyelidik, ia seperti menunggu Nia menjawab pertanyaannya 
"saya tidak mengerti maksudnya ni, apa yg coba ni tanyakan"

Nia yg mengajukan pertanyaan kembali kepada ni Ika hanya dijawab dengan kening mengkerut lantas mencoba membuang ekspresi penasaran itu, Nia, semakin curiga melihat gelagat yg cepat berubah itu, seakan, menutupi 
"saya hanya tanya saja, hal itu, sama seperti yg lain, apakah mereka betah sama teman sekamarnya, yg jelas, saya ingin, rumah ini tetap kondusif saja, tanpa ada yg ditutup-tutupi" sahut ni Ika, ia mempersilahkan Nia pergi, Nia berdiri membuka pintu, sebelum, ni Ika memangil lagi. 
"kamu, sudah berkeliling kan, sudah tahu dimana saja dan tempat apa saja yang ada disini?" tanya ni Ika,

Nia mengangguk,

"bagus, begini Nia, ibuk bisa minta tolong"

"tolong apa ni" tanya Nia,
"kamu, bisa menghindari untuk tidak datang ke lahan dibelakang rumah kan?" 
"dibelakang rumah, di kamar kosong yg berjejer di lorong itu kah ni?" sahut Nia,

"iya" sahut ni Ika, ia terlihat menyipitkan mata. "disana, banyak ruangan tidak terpakai, apalagi, di lahan kosong setelah pintu terakhir, bisa?"

"kalau boleh tahu, kenapa ni?" tanya Nia 
ni Ika diam lama, lalu, ia menjawab, "karena disana, ada sebuah kuburan, pemilk dari yayasan ini sebelumnya, paham nak" ni Ika tersenyum, menutup pembicaraan itu, membuat Nia merasa ia seperti mendapat peringatan secara tidak langsung dari sang pemimpin pamong di yayasan ini. 
Nia pergi, setelah menutup pintu, entah kenapa, menatap lorong tiba-tiba membuatnya penasaran, bila dilihat lagi, lorong dan lahan kosong itu, tidak jauh dari kamar yg diatasnya tidak dapat diakses dengan tangga, dan memang benar, Nia belum pernah sekalipun kesana 
Nia mendekati tempat itu, perlahan-lahan, kakinya menjajak diatas lantai, ia mendekat, semakin mendekat, bahkan, ia akan melewati kamar misterius itu, sebelum,

"Iaaaaaa"

Nia berbalik, mendapati Silvi memanggilnya, ia masih mengenakan seragam sekolahnya. ia berdiri, melihat Nia 
Silvi duduk diranjang, Nia melepaskan satu persatu sepatu yg Silvi kenakan, anak itu, sedari tadi hanya melihatnya saja, tanpa bicara, tidak seperti Silvi yg biasannya.

"kamu kenapa? kok diam saja daritadi" tanya Nia membuka percakapan,

"aaas aaaa aoook aaaeeet" ucap Silvi, 
"kamu bicara apa?" Nia bertanya lagi

Silvi menunjuk-nunjuk sesuatu, kemudian menggelengkan kepalanya dengan keras, sembari tetap mengatakannya, "aaaooook aaaaeeet!!"

ia tidak pernah melihat ekspresi Silvi, semarah ini, lebih tepatnya seperti memperingatkan Nia 
"iya, apa yang coba kamu katakan" Nia masih mencoba memahami, namun Silvi terus menerus mengulangi kalimat itu, diakhir percakapan mereka yg tidak menemukan hasil, Silvi mencakar wajah Nia, lalu ia pergi begitu saja, seakan ia kesal, karena Nia tidak mengerti maksud ucapannya. 
Malam telah tiba, Nia membuka pintu, ia mencoba menahan agar suara lonceng tidak berbunyi, ia tidak mau membangunkan Silvi dari tidurnya, sedari tadi, Nia sudah menahan agar tidak perlu ke kamar mandi, namun sial, perutnya, semakin sakit, Nia pun akhirnya beranjak pergi sendiri. 
sehati-hati bagaimanapun, suara lonceng tetap berbunyi, meski begitu, Nia yakin, Silvi tidak akan terbangun hanya karena suara yg sudah coba Nia redam sekecil mungkin.

Nia, melihat, kamar-kamar disampingnya sudah tertutup rapat, lantas, ia mulai menuju anak tangga, menuruninnya 
setiap langkah ketika Nia berjalan, ia merasa setiap malam, tempat ini seperti memberikannya sensasi yg berbeda dibanding siang

cahaya temberam dari cahaya lilin yg diletakkan dibeberapa sudut, membuat Nia merasa kesal sekaligus ngeri, kegelapan seakan menelannya bulat-bulat. 
Nia membuka pintu kamar mandi, ada 4 pintu yg memang dibuat agar anak-anak tidak berebut saat pagi sebelum keberangkatan ke sekolah, saat Nia mencoba membuka pintu pertama, ia tidak dapat membukannya, dibawah pintu, terlihat bayangan seseorang disana

Nia, memilih pintu disebelah 
tepatnya, disebelah persis pintu pertama.

Nia mendengar suara air berkecimpuk disana, namun, tidak ada suara apapun selain itu, membuat Nia terjebak dalam suasana canggung, yg membuatnya hanya bisa diam sembari fokus dengan kegiatannya. 
sampai, terdengar suara tertawa dari anak-anak, membuat pikiran Nia buyar dan mendengarkannya dengan seksama.

suaranya nyaris seperti suara anak-anak lain disini, namun, suara ini, membuat Nia tidak nyaman dibuatnya. 
Nia menempelkan telinganya, mencoba mendengar lebih jelas suara itu apakah benar-benar berasal dari pintu pertama, namun, hening, sampai, dari, pintu ketiga, suara tertawa terdengar lagi, Nia yg mendapati kejadian itu, terhenyak sesaat, sebelum buru-buru menyelesaikan kegiatannya 
Nia membuka pintu, langkah kakinya cepat buru-buru meninggalkan tempat itu, namun, bayangan seakan ada yg mengikuti membuat Nia tidak berhenti melihat siapa yg ada dibelakangnya.

ia, buru-buru naik anak tangga, saat, satu kakinya terpeleset setelah merasakan sebuah sentuhan 
Nia berteriak, rasa sakit luar biasa ketika kakinya menghantam tangga kayu, membuat Nia tidak dapat menahannya lagi,

namun, saat Nia memeriksa luka memar di kakinya, ia mendapati suara tawa itu lagi, kali ini, sumber suara ada diujung anak tangga, tempat dimana kamar Nia berada 
diujung anak tangga, Nia melihat sosok anak-anak tengah berembung, melihat Nia darisana, wajah dan bagian tubuhnya, tertutup kegelapan, manakala, Nia memperhatikan mereka, perlahan, mereka pergi, namun, masih dengan suara tawa yg mengerikan itu, 
meski dengan kaki tertatih, Nia mencoba naik, sesampai ia di pintu kamarnya, seseorang membuka pintu, Nia bisa melihat Silvi seakan sudah menungguinya,

"uaaaa aau, iiiaaakk" katanya,

Nia hanya melewati Silvi sembari membatin, "si Anak"

"siapa itu si Anak?" batin Nia. 
Terdengar suara seseorang membentak dari luar kamar, suaranya menyeruak seakan ia sedang bercakap dengan yg lain, namun, hanya ada satu sumber suara yg terdengar mendominasi, seakan-akan kelakar amarah itu hanya ditumpahkan saja. Nia, terbangun. matanya menatap bayangan di pintu 
perlahan, gerak tubuh Nia mulai bangkit, ia menyibak selimut, menurunkan kaki. namun, rasa nyeri membuat Nia mengernyit menahan sakit. kakinya.

Nia melihat kakinya, ia tidak tahu, bila memar yang ia dapat, rupanya separah ini. warnanya ungu dengan bentuk menonjol yg mengerikan. 
meski rasa sakit itu menusuk daging, Nia berjinjit, mendekati pintu, ia ingin menguping, apa yang sedang mereka bicarakan, siapa yang berkelakar, Nia menepi dinding, melihatnya dari celah pintu yg sudah terbuka sebelumnya.

disana, Nia melihat Silvi dengan ni Ika. 
"KAMU, APA BELUM PUAS KAMU BIKIN TAKUT SETENGAH MATI TEMANMU DULU, UNTUK KALI INI, HENTIKAN SILVI!! JANGAN LAKUKAN ITU LAGI. YA" bentak ni Ika,

Nia tidak mengerti apa yg ni Ika ucapkan, namun, kalimatnya menunjuk pada siapa, dan apa yg coba ia sampaikan. Nia masih menguping. 
Nia bisa melihat Silvi hanya menunduk, sesekali, ia mencuri pandang, kemudian, ia melirik Nia, entah Silvi tahu atau tidak, mata Nia dan Silvi bertemu disatu titik, diakhiri dengan lekukan senyuman. Silvi tahu, Nia menguping. 
banyak yang ni Ika sampaikan kepada Silvi, namun, anak itu lebih terlihat seperti tidak mendengarkan sedikitpun apa yg dikatakan oleh ni Ika, seakan apa yg keluar dari mulutnya, akan Silvi muntahkan lagi, namun, darisana, Nia jadi tahu, cara Silvi berbicara dengan pamong. 
rupanya, Silvi bisa menggunakan bahasa isyarat, menggunakan gerak jari dan tangannya. 
dari gerak jari jemarinya, ada beberapa yg Nia tidak akan bisa lupakan, dan setiap gerak jari itu muncul, ekspresi ni Ika selalu berubah, lebih ke ngeri, atau marah, matanya melotot, bibirnya gemetar, namun, Nia tidak tahu, apa yg Silvi sampaikan sehingga ni Ika bisa seperti itu 
menahan diri di tempat itu, rupannya menambah nyeri dimata kaki Nia yg memang sudah sangat parah, sampai akhirnya, Nia tidak bisa menahan dirinya lagi, ia tersenggal, sebelum kehadirannya disadari oleh ni Ika yg kemudian memergokinya berdiri disamping pintu yg terbuka 
"kamu ngapain Nia?" tanya ni Ika keheranan, tatapan matanya menyelidik, "kamu nguping ya?"

Nia tidak dapat mengelak dari tuduhan ni Ika, ia memilih diam, menunduk

"kaki kamu kenapa?" tanya ni Ika, ia melihat Nia, ada rasa panik berlebihan disana, seakan, ini bukan pertama kali 
hari itu juga, ni Ika memberikan pertolongan pertama pada Nia, mengompresnya dengan es, sebelum membalut memarnya.

"ni Ika ngomong apa sama Silvi? siapa yang ni Ika maksud?"

ni Ika tidak mendengarkan Nia, ia seperti terjebak dalam duniannya sendiri, sampai Nia menepuknya. 
"iya Nia, tadi kamu tanya apa?"

Nia yg melihat itu, hanya tersenyum sebelum menjawab. "tidak ada ni, Nia gak tanya apa-apa"

saat itu, Nia semakin yakin, ada yang disembunyikan ditempat ini. 
"Ia ak aa" tanya Silvi,

Nia hanya bisa melihat Silvi dari tempat tidur, seharian ini, ni Ika sudah berpesan agar Nia tidak pergi kemana-mana, kakinya harus segera pulih, karena esok, Nia harus pergi ke sekolah

"iya, gak papa" ucapnya, Silvi kemudian pergi, ia menutup pintu 
seharian tidak melakukan apa-apa, membuat Nia sangat bosan, ia beberapa kali bangkit untuk duduk menatap ke jendela, mengamati anak-anak lain yg sibuk sendiri, manakala ketika ia melihat Silvi, sekelibat perasaan tidak enak menyeruak, Nia menatap kesudut lain, ada sosok mengamati 
bangunan rumah ini memang sangat unik, dimana, jendela anak-anak, semua menghadap ke halaman belakang, sehingga, dari jendela, selain halaman, Nia bisa melihat sudut ruang dari bagian rumah yg tak berpenghuni, dan disana, banyak sekali kamar kosong, salah satu kamar tanpa lonceng 
setiap kali memikirkan itu, Nia mencoba menganalisa dari beberapa bagian rumah, dan selalu saja, pikiran Nia tertuju pada satu kamar itu

kamar itu adalah gudang, itu yg Nia tahu dari beberapa anak yg mau bercerita, namun setiap kali Nia mulai yakin bahwa itu memang gudang, 
Nia merasa, ada seseorang yg tinggal disana, dan kadang, ia menampakkan diri secara sembunyi-sembunyi,

siapa pemilik kamar itu sebenarnya? 
melihat itu, Nia bangkit dari tempatnya, dengan bantuan tongkat penyanggah, Nia berdiri, ia menuju pintu, berniat untuk menghampiri Silvi, sebelum, Nia terhenti manakala, lonceng di pintunya berbunyi, aneh, padahal sedaritadi, pintu tidak pernah terbuka sedikitpun 
Nia mencoba menarik daun pintu, namun, seakan ada yang sengaja menahan Nia, sekuat apapun Nia menariknya, pintu tetap tak bergeming, namun, suara lonceng yg terdengar dari luar pintu, terus menerus berkemerincing

Nia, beringsut mundur.. 
Nia kembali kejendela, ia melihat Silvi, namun, anak itu sudah tidak ada ditempat ia duduk tadi, dan sosok yg seperti mengamatinya itu, lenyap juga, tidak beberapa lama, pintu terbuka, Silvi melangkah masuk, mendekati Nia, dan memberikannya bunga yg ia petik dari halaman belakang 
semenjak saat itu, Nia merasa ngeri sendiri, terkadang, setiap malam, ia mendengar Silvi menghentak-hentakkan kakinya dari atas ranjang, membuat Nia penasaran, namun, saat ia memeriksanya, gadis kecil itu, terlelap dalam tidurnya. 
hari semakin hari, luka memar Nia tak kunjung sembuh, bahkan, warna ungu yg seharusnya pudar, menghitam, membuat Nia harus lebih bersabar, ia berjalan tertatih, menuju sekolah untuk pertama kalinya, sejak ia tinggal di tempat ini. 
tidak ada yg menarik dihari pertama Nia ke sekolah, malah, Nia merasa beberapa anak yg melihatnya seakan tidak tertarik terutama ketika tahu dimana Nia tinggal, namun, ada satu anak perempuan yg sedari tadi suka sekali mencuri pandang pada Nia, terutama, satu kakinya yg diperban 
"halo" katanya menyapa, ia tampak ragu, namun tetap mencoba mengajak Nia berbicara,

"luka dikakimu, mengingatkanku pada seseorang, tapi aku lupa, karena dia tiba-tiba keluar dari sekolah" perempuan itu mengangkat bahu seakan apa yg ia katakan, membuat Nia tertarik, 
"dan setahuku, dia tinggal di tempat kamu tinggal juga"

mendengar itu, Nia langsung tahu, perempuan ini, ingin mengatakan sesuatu kepadanya. 
"Ica" katanya, ia mengulurkan tangan, Nia mengangguk, menyambut tangannya, "Nia"

"seperti yg kubilang, dulu, ada anak baru juga, tidak terlalu lama kok, sebelum dia keluar dari sekolah, seingetku, satu kakinya diperban sama sepertimu" kata Ica, "waktu dengar kamu tinggal dimana- 
-aku langsung tahu, kok bisa kalian mengalami situasi yg sama, kadang, aku gak percaya sama yg namanya kebetulan, tapi, sekarang, sepertinya aku harus mempertimbangkan itu lagi"

Ica tampak melirik kesana kemari, sebelum berbisik, "tempat tinggalmu, Angker ya?" 
Ica menceritakan banyak hal, namun, setiap kali Nia bertanya, siapa perempuan yg ia maksud, Ica selalu menjawab bila ia tidak mengenalnya secara langsung, karena perempuan itu sangat pendiam, lebih ke aneh sebenarnya, namun, Ica ingat, anak itu sering menghabiskan- 
waktu dengan seorang anak kecil yang bersekolah tidak jauh darisini, anak kecil itu tidak bisa bicara, ia hanya menggunakan bahasa isyarat, namun, setiap kali Ica mengamati mereka, anak itu, selalu memandang sinis kearahnya.

"anak kecil" ulang Nia, "tidak bisa bicara??" 
"iya, entahlah, dia mungkn bisa bicara tapi kayaknya gak lancar gitu sih" Ica mencoba mengingat-ingat, "aku pernah lihat dia memberi isyarat, kalau daritadi aku ngawasi mereka, dan anak perempuan itu, langsung melotot melihatku"

"tunggu" sahut Nia, "kamu, bisa bahasa isyarat?" 
"iya bisa" ucap Ica,

Nia mencoba mengingat kembali gerakan tangan Silvi, memeperagakannya didepan Ica, meski tidak sama persis, Ica mencoba menyebut kalimat-kalimat itu, semacam, "Si" ucap Ica, "Sia-" Ica terus menebak "Siapa- kayaknya bukan ya" sahut Ica, sampai,

"Si Anak" 
"si Anak" Nia mengulangi kalimat itu, ia tahu persis, bahwa kalimat itu tidak asing lagi, namun, makna yg terkandung didalamnya, apa, apa itu si Anak, siapa Anak yg dimaksudkan.

"tunggu" kata Ica, "saat kamu memperagakan gerakan tangan itu, ada jari telunjuk yg ditekuk gak?" 
Nia mencoba mengingat lagi, "entahlah, aku lupa" jawab Nia,

"bila ada, maka kalimatnya tidak dipisah" sahut Ica, "apa, maksudnya itu, siAnak"

"siAnak" tanya Nia,

"itu kaya semacam kalimat baru bukan?" tanya Ica, "sebuah nama mungkin, atau, nama dari sesuatu?" 
Nia, terdiam lama, ia mencoba mencerna kalimat Ica,

"siAnak"

Silvi dan siAnak? 
"kayaknya, aku harus maen ke tempat kamu ya" sahut Ica, "boleh"

Nia tidak langsung menjawab pertanyaan Ica, sebelum sesaat kemudian, ia berpikir, mungkin Ica bisa bicara dengan Silvi, menjelaskan, siapa sianak yang ia bicarakan ini,

"boleh, datang saja, lepas maghrib nanti" 
***



"Silvi kenapa diam saja daritadi?" tanya Nia,
"Silvi marah ya sama Nia?"

si kecil Silvi masih diam, ia tidak melihat Nia sedikitpun, lalu ia pergi, suara lonceng kepergiannya setelah menutup pintu, membuat Nia merasa heran. tidak ada yang tahu isi kepala anak itu. 
Nia menuruni anak tangga, kakinya semakin menghitam, bahkan, ada kerak luka disana, awalnya, ni Elin memberi saran agar Nia dibawa ke rumah sakit, namun, Nia menolak, Nia berpendapat kakinya baik-baik saja, namun, pandangan mata ni Elin, seakan menyimpan sesuatu, sebuah rahasia 
seseorang memanggil Nia, gadis yang tinggal di ujung kamar, ia berkata kepada Nia, "ada temanmu, sekarang dia ada di luar"

dengan langkah terpincang-pincang, Nia berjalan menuju pintu, disana, ia melihat Ica, tersenyum, menyapa Nia 
"masuk saja" kata Nia,

pertama kali Ica masuk, Nia melihat gelagat aneh Ica, ia sempat berhenti meski hanya sepersekian detik, Ica, menggosok hidungnya, persis seperti cara seseorang yg mencium bau tidak sedap, namun, Nia tidak bertanya pada Ica, apa yg ia lakukan barusan, 
"rumahnya besar ya" kata Ica, matanya menyorot semua tempat, tingkahnya hampir sama seperti pertama kali Nia datang ke rumah ini, kekagumannya pada bangunan dengan gaya lama, menyelidik sejengkal-demi sejengkal, sampai, mata Ica berhenti pada satu titik

sebuah foto dalam pigura 
"itu foto siapa Nia?" tanya Ica

Nia juga tidak tahu, ia juga ingin bertanya perihal itu, namun, tak satupun ada yang tahu siapa perempuan yg tengah berdiri dengan pose seakan menggendong bayi kecil dalam pelukannya, bahkan, anak-anak lain sekalipun 
meski Nia tidak menjawab, Ica tidak memaksa Nia, Ica kemudian mendekati foto itu, seakan ingin menyentuhnya, sebelum,

"temanmu" ucap ni Eva tiba-tiba, ia adalah salah satu pamong yg memiliki perawakan paling besar disini, ia melihat Ica, sebelum memberikan senyuman itu, 
"iya ni, teman sekolah saya" sahut Nia, ia lupa, setidaknya Nia seharusnya mengatakan kepada pamong disini, bahwa akan ada temannya yang datang berkunjung, namun, ni Eva sepertinya bisa memaklumi itu

"suruh temanmu ikut bergabung sama yang lain ya, sudah waktunya, makan malam" 
Ica membantu Nia menuju ruang makan, samping dapur.

disana, mereka menemukan anak-anak sudah ada di tempat duduk mereka masing-masing, semuanya, kecuali, kursi Silvi, Nia tidak menemukan anak itu disana.

Ica, akhirnya duduk di kursi Silvi, menggantikannya, untuk malam ini 
selama makan, tidak ada satupun yg bicara, seperti biasa.

anehnya, Ica seakan tidak perduli, untuk orang yg baru merasakan sensasi makan dalam keheningan, Ica seakan menunjukkan gelagat sudah biasa dengan ini semua, hal itu, membuat Nia bertanya-tanya. 
selepas semua anak sudah pergi, Ica menatap Nia, "kamu mencium bau amis tidak?"

Nia yg mendengar itu, berbalik bertanya pada Ica, "bau amis? tidak ada pun"

"iya, bau amis, mirip bau, ari-ari bayi gak sih"

Nia yg mendengar itu hampir saja tersedak dibuatnya, Ica tampak serius 
"aku boleh keliling rumah ini gak Nia" tanya Ica tiba-tiba,

"apa?" Nia tambah kaget mendengarnya, "gelap-gelap seperti ini, entahlah, pamong akan marah"

"sebentar saja, aku kok penasaran, rumah ini besar sekali loh" Ica berusaha meyakinkan Nia,

Nia tidak menjawab 
tanpa persetujuan Nia, Ica langsung melesat pergi, Nia dengan kaki terpincang-pincang berusaha mengejarnya, namun, Ica lenyap begitu saja, seakan ia mengejar-sesuatu disini.

Nia berhenti, tatapannya mencari tahu, kemana kira-kira anak itu pergi, sebelum Nia menatap lorong 
ada sesuatu yang paling Nia hindari sebelum lorong adalah, kamar tanpa tangga, setiap kali Nia melewati kamar itu, ia merasa, dari sela kayu pintu, seakan ada mata yang menatapnya, namun, tidak ada yang lebih mengerikan dibanding, suara menangis yg kadang terdengar dari dalam. 
kaki Nia semakin nyeri, ia memaksa kakinya berjalan lebih cepat, sesaat sebelum sampai di lorong, Nia berhenti menatap kamar itu

lagi-lagi, Nia mendengarnya kembali, namun, Nia mencoba mengabaikannya, ia terus bergerak menelusuri lorong gelap.. 
Rumah ini selalu menyimpan misteri, seakan ada dua sisi yang saling berseberangan, dan dibagian lorong, adalah sisi dimana kadang Nia merasa tidak sendirian lagi, padahal ia tahu, saat ini, tidak ada satupun yg menginjakkan kaki disana, kecuali, Nia seorang diri 
selain lorong panjang, ada kamar bangsal yg tidak terpakai, sama seperti kamar lain, ada lonceng diatas pintu, namun, bedanya, ada jendela besar disetiap bangsal dengan pasak besi terpasang, nyaris menyerupai kamar rumah sakit jiwa, setiap kali Nia melewati jendela itu, 
seakan Nia merasa, ada seseorang yg berbaring diatas ranjang-ranjang kosong itu.

namun, tidak ada siapapun disana, hingga, Nia sampai, di pintu terakhir, satu pintu yg konon kata ni Ika adalah kuburan dari pemilik yayasan ini sebelumnya, Nia berhenti lama, sebelum, membuka pintu 
Nia mendapati Ica sedang meringkuk, saat Nia memanggilnya, Ica berbalik lantas kemudian berdiri, kakinya seakan menutupi sesuatu, wajah Ica, panik

"kamu ngapain?"

"Nia, aku gak ngapa-ngapain kok" ucap Ica

"kamu nanam sesuatu kan disana?" kata Nia, Ica tetap menolak tuduhan itu 
"aku lihat kamu nanam sesuatu" Nia mendorong Ica, memintanya menyingkir, lantas, menggali dengan tangan kosong, sama seperti Ica, di tanganya, jelas-jelas ia baru saja menggali sesuatu, meletakkan entah apa itu disini, namun, aneh, saat Nia selesai membongkar gundukan itu, 
Nia tidak mendapati apapun disana.

Ica yang masih terlihat panik, lantas berucap "aku gak nanam apa-apa kan, aku, malah nyari sesuatu disini"

"apa" Nia lantas bertanya,

"apa yang kamu cari?" tanya Nia,

"kuburan janin-janin yang sudah mati itu, disini kan?" 
"sianak adalah janin yg sudah digugurkan"

Nia yg mendengar itu, tiba-tiba merinding. 
"kamu jangan ngawur ya ca kalau ngomong" bentak Nia, lantas, Ica menunjuk tempat ini, sebuah lahan kosong yg di kelilingi tembok tua, hanya saja, tidak ada atap disana, dan, di sekeliling, Nia baru sadar, tempat ini, dipenuhi tumbuhan Salak,

Nia masih tidak mengerti 
"aku penasaran sejak awal, rumah ini dulu adalah rumah Berangon kan" ucap Ica,

"Berangon?"

"rumah tempat gugurin janin pada jaman dahulu"

"kamu tau darimana?" Nia masih beriskeras menolak kata-kata Ica,

"tumbuhan Salak, dulu, digunakan untuk menyamarkan bebauan darah janin" 
"dan kamu tau kenapa harus salak" tanya Ica

Nia menggelengkan kepala,

"konon, setiap tumbuhan Salak, selalu ada yg jaga, untuk menahan roh dari janin-janin yg sudah digugurkan" Ica mendekati Nia, "dia suka sekali dengan darah janin, dia selalu menjilati darah janin" 
"siapa" tanya Nia,

"Genderuwo" bisik Ica, saat itu juga, pintu tiba-tiba dibanting dengan keras, lalu tertutup dengan sendirinya.

Ica dan Nia, memandang pintu, mereka berdua saling menatap satu sama lain. 
Ica membuka pintu, menarik Nia kemudian mereka pergi, Ica juga beberapa kali melihat ke kamar bangsal, kaki Nia semakin nyeri, tapi Ica mengatakan, "denger suara mereka gak, banyak sekali yg jerit di kamar-kamar kosong ini"

Nia tidak menjawab Ica, ia ingin segera sampai di kamar 
Nia menarik Ica, ia harus segera pergi darisana, sebelum pamong tahu apa yg mereka lakukan, saat melewati pintu tanpa tangga, tiba-tiba, Nia berhenti, ia memandang tajam pintu kamar itu,

untuk pertama kalinya, Nia berkeringat, dengan wajah tegang, matanya tertuju pada pintu itu 
Nia melihat sekelebat bayangan sosok wanita masuk kesana, bayangan mata itu lenyap, Ica, tidak kalah dengan Nia, kaki dan tangannya gemetar hebat, lantas, Ica berucap dengan kalimat terbata-bata,

"wanita di foto itu bukan"

Ica menatap Nia, mereka pergi dari tempat itu 
saat Ica menggandeng tangan Nia yg merasakan nyeri yg luar biasa, tiba-tiba, ni Ika muncul, lantas memegang tangan Nia,

"kamu bisa pulang kan dek, sudah malam loh, ibumu pasti khawatir kalau anaknya kenapa-kenapa"

ni Ika mengatakan itu sembari tersenyum, Ica pun pamit, ia pergi 
Nia menatap ni Ika, ekspresinya tidak berubah, ia tetap tersenyum, namun, sebelum Nia menjelaskan apa yg terjadi, ni Ika langsung memotongnya.

"kamu bisa kembali ke kamar sendirian kan Nia," ucapnya, "Silvi, sudah menunggu kamu daritadi"

tanpa pamit, ni Ika pergi begitu saja. 
Nia membuka pintu, saat itu juga, Nia bisa melihat Silvi, ia duduk di lantai, meringkuk, sendirian, suara lonceng pintu Nia, membuat anak itu mengangkat punggungnya, kemudian, ia menatap Nia selama beberapa detik sebelum mengatakan

"ook aaah, oook aaaah iaaa" 
"kamu ngomong apa" Nia mendekatkan diri,

"oook aaah, aam ii oook aaan aaang!" Silvi masih bersikeras menjelaskan "Iaaaa" Silvi menunjuk Nia, "eeeiii aaaa aaiii iii"

Nia tetap tidak mengerti, lantas, Silvi berdiri, keluar dari kamar, sebelum ia menutup pintu, Silvi menangis 
"kamu mau pergi? kamu gak tidur disini?" Nia bertanya,

Silvi mengelengkan kepalanya, lantas, menutup pintu perlahan, suara lonceng pintu terdengar, Nia sendirian didalam kamar itu, ia masih memikirkan apa yg ingin Silvi sampaikan, namun, Nia tahu, malam ini, ia akan sendirian 
Nia beranjak menuju ranjang, setelah ia yakin sudah mengunci pintu, Nia mengangkat kakinya, saat itu, Nia baru tahu, luka memar di kakinya, tidak hanya menghitam, namun mulai berbau busuk, nyaris seperti borok yg mengerikan, Nia mulai berpikir untuk membawa kakinya ke rumah sakit 
Nia mulai memejamkan matanya, memanjakan dirinya dengan lelap yg sudah memenuhi isi kepalanya, keheningan seketika menelan Nia, dalam sunyi, Nia tertidur

namun, tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka, lonceng berdenting, dan Nia membuka matanya 
sekilas, saat Nia membuka mata, ia melihat seorang perempuan berambut panjang, ia mengenakan gaun putih hingga menutupi kakinya, berjalan melintasi kamar Nia, perut wanita itu buncit, menyerupai wanita yg tengah mengandung

Nia, beranjak dari tempat tidurnya, lalu pergi memeriksa 
Nia tidak melihat siapapun disana, dengan cepat ia langsung menutup pintu kembali, menguncinya

namun, belum juga Nia kembali ke ranjang, ia merasa, dibelakang, seseorang tengah membelai rambutnya yang panjang, menciuminya, nafasnya terasa ditengkuk Nia,

Nia mulai menangis 
Nia yg sudah tidak tau lagi harus bagaimana, lantas, nekat untuk melihat siapa yg ada dibelakangnya, namun, saat Nia berbalik, ia tidak menemukan siapapun disana, namun, pintu yg sudah dikunci oleh Nia, terbuka kembali, Nia mendengar langkah kaki ditangga, Nia mengikutinya 
Nia merasa ia harus mengikutinya, seakan memang Nia dituntun untuk tahu lebih jauh apa yg sebenarnya terjadi di rumah ini,

sampai, sosok itu melangkah di anak tangga kamar misterius itu, sebelum ia masuk kesana, ia melihat Nia, 
aneh, Nia tidak tahu, bila sekarang, ada anak tangga didepan kamar misterius itu, tanpa berpikir apapun lagi, Nia menaiki anak tangga, lalu masuk kesana,

saat Nia sudah masuk, pintu, tiba-tiba tertutup dengan sendirinya. 
hal pertama yang Nia rasakan adalah, bau apak yg membuat Nia tidak nyaman, selain bau apak, Nia juga merasa, ruangan ini jauh berbeda dari semua ruangan yg pernah Nia masuki, hal yg mengganjal tentu adalah, hampir disetiap sudut ruang, Nia bisa melihat semua benda berserakan 
ruangan ini tidak lebih besar dari ruangan tempat Nia menumpang tidur, hanya saja, di dalam ruang ini hanya terdapat satu ranjang, dengan beberapa perabotan, tak terkecuali, satu kursi usang yg berdiri kokoh, tepat ditengah ruang.

"aneh" pikir Nia, melihat kursi lusuh itu 
dengan kaki terpincang-pincang, Nia memaksa diri menuju ranjang tempat tidur, disamping sisi ranjang, terdapat sebuah jendela dengan tirai putih transparan

manakala, Nia memeriksa kemana jendela itu tertuju, Nia terperanjat, ia semakin yakin, di ruangan ini, ia melihat dia 
debu seakan menjadi kawan, Nia menelisik setiap sisi ruang ini, benar, guratan disepanjang tembok, tidak diciptakan dengan sengaja, ada goresan dari darah yg menghitam, ada sayatan kasar, dan geligih daging kering yg terkelupas masuk kedalam guratan itu,

siapa pemilik kamar ini 
satu yg Nia tahu, siapapun yg mendiami kamar ini, setiap detik, ia pasti menggaruk atau meronta mencakar sisi tembok dan segala apa yg bisa ia dapat

percikan darah kering disana-sini, membuat Nia merasakan perasaan merinding yg tak terjelaskan, sampai, ia kembali menatap kursi 
dengan perasaan ragu, Nia berhenti tepat didepan kursi usang itu, Nia perlahan menatap langit-langit, mencoba menebak dari presepsi liar ketika mengamati ruang ini,

mata Nia terbelalak menyaksikannya,

tepat seperti dugaan Nia, disana, ada tali gantung yg masih tersampul 
si pemilik kamar ini, mati, gantung diri. 
semakin lama didalam ruang ini, Nia merasa bahwa dirinya semakin terancam, ia berlari meski harus menyeret kakinya, Nia menuju pintu, namun, pintu terkunci

dengan nafas memburu, Nia menggebrak pintu, berteriak-teriak, namun, tak ada satupun yg menjawab 
perlahan-lahan, terdengar suara tawa ringkih, menyerupai suara bayi yg tergelak, suara itu, terdengar dari bawah ranjang, Nia yg benar-benar mendengarnya, tak berniat untuk memeriksanya, ia harus keluar dari tempat ini, Nia terus menerus berteriak sembari menggebrak pintu 
frustasi karena tak kunjung mendapat jawaban, Nia mengintip dari lubang kunci, tempat biasa Nia melihat pintu dari bawah anak tangga, siapa sangka, kini Nia ada didalam ruang itu, dan darisana, Nia melihat sesuatu

Silvi, tengah ada dibawah anak tangga, melihat pintu, sendirian 
"SILVI!! SILVI!!" bentak Nia, namun, gadis kecil itu, melangkah pergi, "SILVI, BUKA!! BUKA!!"

Nia terdiam, tidak mengerti, sampai, pandanganya tertuju pada sisi bawah ranjang, Nia, mendekatinya 
rasa nyeri di kaki Nia semakin menyiksa, namun, suara-suara mengerikan itu, memancing rasa penasaran bagi Nia

seakan suara itu ingin menunjukkan eksistensinya, kini, Nia berjongkok, menahan perih, menekuk kakinya, Nia, menyentuh kain putih yg menutup ranjang, perlahan membukanya 
tidak ada apapun disana, kecuali ruang kosong dibawah ranjang,

tidak ada, sampai, Nia merasakan sentuhan di kakinya, perlahan, hanya ada satu sentuhan, namun, semakin lama, tangan-tangan asing seperti berebut menyentuhnya, Nia melirik sosok itu, 
Nia melihat dengan mata kepala sendiri, sosok kecil merangkak dengan lendir merah darah, berebut menjilat kaki Nia, mengerumuninya, ada puluhan, lebih, memenuhi sisi ruang lain, mereka seakan-akan memenuhi tubuh Nia, jeritan Nia, memutus malam itu, 
Nia terbangun, tepat di bawah kamar, ia seperti gadis yg kosong, tidak tahu apa yg terjadi dan bagaimana semua berlangsung secepat itu, namun, Nia hanya ingat satu hal, kakinya bernanah, semakin nyeri, manakala Nia mencoba untk bangun, ia terjatuh, dengan kepala menghantam lantai 
setiap Nia memaksa untuk bangun, kakinya seperti kehilangan tenaga, Nia akan tersungkur, wajahnya terus menerus menghantam lantai, sampai darah terus mengalir dari hidung, Nia mulai menangis, berteriak meminta tolong kepada siapapun 
dengan perasaan kacau balau, Nia hanya bisa menggunakan kedua tangannya, ia merangkak dan terus meminta tolong, sampai, seorang anak memergokinya, ia tampak shock melihat Nia, lantas mendekatinya dan bertanya apa yg terjadi,

"AKU TERJEBAK DI KAMAR ITU!!" 
aneh, wajah anak itu, tampak kebingungan.

"PANGGIL NI IKA DAN SEMUA PAMONG"

anak itu, masih memandang Nia kebingungan, apa, anak itu, seperti tidak mengerti apa yg dikatan oleh Nia, sampai, anak lain datang dan bertanya, anak itu lantas menjawabnya

"Nia, tidak bisa bicara" 
di ruang kecil, Nia terduduk lemas, matanya kosong, menerawang jauh entah kemana

ni Elin dan ni Eva hanya menatapnya prihatin, mereka melihat kaki Nia yg semakin dilihat semakin membuat mereka berdua bingung, bagaimana luka sepele tiba-tiba menjadi seperti ini, 
tak beberapa lama, ni Ika melangkah masuk, ia menatap Nia, seakan tahu apa yg menimpa gadis malang itu, ia berbisik pada Nia, "ikut saya ya nak"

detik itu juga, Nia dibawa pergi. 
selama diperjalanan, Nia masih menatap kosong, ia tidak mau berbicara, dan memang, tidak akan ada yg bisa mengerti apa yg ia ucapkan, bahkan, saat ni Elin membujuknya untuk bercerita, Nia enggan menuliskannya, ia hanya terbayang Silvi kecil, kenapa dan apa yg ia lakukan 
tak beberapa lama, sampailah mereka disebuah rumah duku, dengan pohon besar familiar, Nia dibantu oleh ni Elin, ia dituntun menuju pintu rumah, mengetuknya, dari dalam, terdengar suara serak, yg menyuruh mereka masuk,

saat pintu dibuka, 
terlihat seorang wanita tua duduk di kursi roda, di belakangnya, ada seseorang yg gaya berbusananya sama persis seperti busana milik para Pamong, namun, dilihat dari usianya, tampaknya ia masih sangat muda,

sementara, si wanita tua, di bibirnya, ia menggigit gambir 
dengan rambut disanggul menyerupai wanita jawa, ia menatap Nia, matanya picing, seakan tidak suka dengan kehadiran Nia, pun, dia meludahi Nia seakan tidak sudi dan tahu apa yg akan ni Ika sampaikan,

si wanita, dengan nada marah berujar, "Ka, melok aku" (ikut aku) 
ni Ika mengambil alih kursi roda, mendorong si wanita tua itu, masuk ke dalam kamar, sementara Nia, ia duduk, dengan tatapan kosong ia mencoba mencari tahu, dimana ia dibawa oleh para pamong, sebelum Nia tahu jawabannya, ni Elin mendekati Nia, ia berbisik 
"gadis yg ada di depanmu itu, dia juga mengalami hal yg sama seperti kamu"

Nia yg mendengarnya lantas terperanjat, ia baru menyadari, gadis muda di depan Nia, mungkin usianya tidak terlalu jauh dari dirinya, tepat di kakinya, Nia menemukan bekas luka yg sama. 
gadis itu mendekati Nia, ia tersenyum lantas bertanya pada Nia, "kamu sudah melihatnya, Momok" ucapnya, Nia yg sedari tadi tidak mau bicara, lantas menjawabnya, membuat ni Elin mengangkat alis pertanda tidak mengerti, namun, si gadis, ia mengerti apa yg Nia katakan, ia mengangguk 
terdengar suara perdebadan antara ni Ika dengan wanita tua itu, Nia merasa bersalah mendengar bagaimana ni Ika di cerca dengan kalimat yg menghina,

si gadis itu, menenangkan Nia, bahwa, ia akan baik-baik saja, hanya saja, ia akan sedikit terkejut dengan apa yg akan ia terima 
tak beberapa lama, si wanita keluar bersama ni Ika, ia memperkenalkan dirinya sebagai pemilik yayasan itu, ia biasa di panggil, Asih,

ni Asih, meminta Nia mengikutinya, ia, membawa Nia masuk jauh kedalam rumah, yg memiliki bangsal yg sama persis dengan rumah yg Nia tinggali 
dibantu si gadis, Nia dituntun untuk ikut, namun, ada kejadian menarik, Nia juga menemukan foto wanita dengan pose menimang anak, sama persis dengan yg ada di yayasan itu, dan bila ditelisik lebih jauh, ni Asih, menyerupai wanita dalam foto itu, namun, Nia tidak mau berspekulasi 
disebuah kamar kayu, ada sebuah ranjang tepat ditengah-tengah, dengan meja dipenuhi congkak dari tanah liat, debu dan asap dari kemenyan, serta air dalam caruk, Nia dipaksa berbaring diatas ranjang itu, sementara ni Asih, membuang gambir di bibirnya, ia berdiri dari kursi rodanya 
cara ni Asih berjalan nyaris seperti melihat diri Nia sendiri, ia pincang di sebelah kakinya, ia mengambil beberapa dedauan dan kembang yg ada di sekitaran ruang, rempah-rempah dan bebauan yg bahkan tidak dapat Nia kenali,

si gadis muda, menutup pintu, menguncinya dengan pasak 
si gadis muda mencoba menenangkan Nia, sementara kedua tangan dan kakinya di ikat dengan jabrak, tali dari sulur yg dikeringkan, saat Jabrak sudah melilit, rasa nyeri akan terasa menyiksa bila Nia memaksa untuk menariknya 
si gadis mengambil beberapa bahan yg sudah dipilih oleh ni Asih, ia kembali ke meja disamping ranjang, lalu, menyalakan lilin, dan kemudian bersiap pamit, ia sempat melirik Nia, sorot matanya, tampak memelas, seakan tahu, apa yg terjadi selanjutnya 
ni Asih kembali, wajahnya masih tampak keras, tak nampak senyuman sedikitpun disana, bahkan saat menyentuh Nia, ia menyentuh dengan kasar, seakan ia melakukan ini karena sebuah paksaaan yg tidak ia kehendaki,

ia meletakkan sanggah besi diatas lilin, memanaskan sebilah pisau 
"padahal dia cuma nyentuh kakimu saja ya, tapi akibatnya bisa sampai seperti ini, saya tidak mau membayangkan pada apa yg terjadi pada anak kecil itu, yg lidahnya sampai ditarik olehnya" ucap ni Asih, ia menyeringai

"anak itu" tanya Nia, ni Asih mengangguk 
ia lantas menyuruh Nia menggigit gambir, sebelum mulai memijat kakinya, di sela-sela ia melakukan itu, ni Asih mengunyah banyak sekali bahan yg sudah ia persiapkan, setelah semua dirasa siap, ia, mengambil sebilah pisau yg ia panaskan sedari tadi,

"ini akan sangat sakit nak" 
tanpa membuang waktu, ni Asih mengiris luka Nia, dan Nia meronta-meronta, teriakannya tertahan gambir yg ia gigit, ototnya mengejang, rasa sakit luar biasa yg bahkan Nia tidak pernah bayangkan sebelumnya, Nia terus menerus mencoba melepaskan diri dari jeratan, namun, sia-sia 
ada saat-saat dimana Nia bahkan berpikir untuk mati saja, namun,ia terus sadar dan merasakan semuanya, dunia seperti beputar semakin cepat, ni Asih terus bergumam jampi-jampi yg bahkan Nia tidak tahu apa yg ia katakan, yang Nia sadar adalah, ada sosok dibelakang ni Asih 
sosok yg pernah Nia lihat, berdiri dibelakang ni Asih, menatapnya dengan kepala miring, seakan menikmati rasa sakit yg Nia rasakan, ni Asih lalu berteriak "AKU EROH KOEN NANG KENE!!" "saya tahu kamu ada disini"

Nia masih menekan rasa sakitnya, bercampur dengan rasa takutnya 
"jangan takut nak, yang kamu lihat, adalah ibu saya" untuk kali pertama, Nia mendengar suara ni Asih begitu lirih, begitu menenangkan, sosok itu hanya berdiri sebelum Nia akhirnya tidak sadarkan diri, ia terbangun, menatap ni Ika yg duduk disampingnya 
ni Ika lantas bangun, membelai rambut Nia, memintanya untuk istirahat, sebelum, ni Asih masuk dan mengatakannya, "malam ini, kunci anak ini lagi di kamar itu"

"apa tidak bisa ni, bila dilakukan saat Nia sudah jauh lebih baik"

ni Asih tersenyum sinis, ia menatap Nia, 
"ia masih menganggap anaknya masih hidup, anak yg sudah digugurkan itu. anak yg memang tidak ada sejak kejadian itu, ia tidak akan melepaskan Nia, tidak sampai Nia sendiri yg mengatakan, si Anak bukanlah Nia itu sendiri, Nia harus bertemu ibu saya" 
hari mulai petang, mobil yg membawa Nia mulai memasuki pagar, Nia melihat semua anak berkumpul menungguinya, namun, Nia tidak melihat kehadiran Silvi, lantas, Nia duduk di kursi roda, ni Ika mendorongnya, menuju, kamar itu. 
Sekarang, Nia tahu, bagaimana ni Ika menyembunyikan tangga, rupannya, begitulah cara pamong menyembunyikan segalanya, ni Eva dan ni Elin membantu Nia, menuntunnya perlahan-lahan, hingga Nia bisa mencium lagi, bau apak yg pernah ia hirup di dalam kamar ini. 
Ni Ika mendudukkan Nia di sebuah kursi lusuh yang pernah Nia lihat sebelumnya, Nia hanya duduk sembari mengawasi ni Ika yg membersihkan apa yg bisa ia bersihkan. 
“dulu, rumah ini adalah rumah tempat wanita-wanita mengaborsi janin yang ia kandung” ucap ni Ika, ia beberapa kali melirik Nia, memastikan gadis itu tetap nyaman ditempat duduknya. 


“Setiap hari, berkali-kali, jeritan ibu-ibu yang tidak siap mengurus anak terdengar di kamar bangsal-bangsal” ni Ika menatap nanar jendela, “dan mungkin, pemilik rumah ini adalah sosok paling berdosa dibalik semua peristiwa kelam itu” 
“namun, tidak ada yg pernah berpikir bahwa ia menyimpan penderitaan itu sendirian, berkabung seorang diri, sampai, suatu malam, ia bermimpi, mimpi, bahwa ia tengah mengandung seorang anak” ni Ika menatap Nia, "namun, yg sebenarnya terjadi, ia tidak pernah mengandung" 
"setiap kali ia diingatkan, bahwa ia tidak mengandung janin didalam perutnya, ia menolak, bersikeras bahwa ia mengandung" "ia akan marah dan meronta mengatakan bahwa kami membohonginya dan mencuri bayi miliknya, lantas, ia menjadi gila" ni Ika berbisik pelan, 
"untuk dosa dari banyak janin yang telah berhasil ia bantu gugurkan, justru, ia menanggung, kesedihan teramat dalam yg membuat isi kepalanya rusak berkeping-keping" ni Ika masih menatap Nia, "ia memanggil bayi kecilnya, si Anak"

"sianak" "sianak" "sianak" itulah yg ia katakan 
"setiap hari, ia melukai dirinya, mengurung diri dikamar sendirian, mencakari tubuhnya, menjambak rambutnya, terus dan terus, menutup diri hingga," ni Ika melihat keatas, langit-langit "mengakhiri dirinya di tali gantung, di kamar ini" 
"lalu, siapa ni Asih, ia bilang, dia adalah ibunya?"

ni Ika tersenyum, "ia, dia adalah ibunya, ibu kami juga"

Nia tampak bingung, sebelum ni Ika mengatakannya, "kami semua anak angkat, dan ia tidak pernah bisa memiliki bayi, karena ia"

"mandul" sahut Nia, ni Ika mengangguk 
"bila Nia bertanya, alasan kenapa disetiap pintu terdapat lonceng adalah, ia sangat suka menimang anak yg tidak pernah ada dengan suara lonceng itu, ia menimang anak, yg bahkan tidak pernah aku lihat ada" "ia mati dengan membawa kegilaan bahwa ia memiliki sianak" 
"lewati malam ini, katakan padanya, bahwa kau bukan sianak, dan setelah itu, aku akan mengatakan kepadamu, ada sebuah keluarga yg siap menerimamu Nia, selesaikan semuanya malam ini" ucap ni Ika, ia melangkah ke pintu, menutupnya, setelah ni Eva dan ni Elin berpamitan. 
Nia hanya duduk sendirian, sementara malam semakin larut, sayup angin masuk, Nia merasakannya, kehadirannya, ia berdiri dibelakang Nia, menyentuh rambutnya, membelainya dengan lembut, membisiki Nia dengan satu kalimat yg menusuk "anakku" 
terdengar riuh saat sesuatu merangkak keluar dari bawah ranjang tempat Nia melihat sosok janin yg pernah menghantuinya keluar, gelagat mengerikan itu seakan tercium manakala, sosok yg keluar adalah, Silvi

Nia terperanjat menatap Silvi, yg sedari tadi, rupannya bersembunyi disana 
"Nia" kata Silvi, "Nia jangan bicara"

Silvi menatap Nia, kali ini ia bisa menangkap bibir Silvi, apa yg coba ia sampaikan, apa yg ia coba katakan, Nia bisa mendengarnya, 
sosok itu masih membelai rambut Nia, seakan Nia bukan anaknya, sementara Silvi, ia berdiri dan memperhatikan Nia, memintanya untuk tidak mengatakan sepatah katapun, seakan Silvi pernah mengalaminya,

"diam Nia, diam saja" 
ia memperhatikan Nia dengan seksama, sebelum, ia mengalihkan pandanganya pada Silvi, sosok itu mendekati Silvi,

"Nia boleh pergi, Nia bukan sianak, pergi Nia" 
pintu tiba-tiba berderit terbuka, Nia melihat Silvi dan sosok itu, bersamaan itu Nia melangkah turun, ada dorongan dimana ia harus mengikuti ucapan teman sekamarnya yg bahkan tidak dipahami oleh banyak orang, namun Silvi ia, lebih tau, siapa dan kenapa ia harus menurutinya 
saat Nia turun, ia melihat ni Ika rupannya sudah menungguinya, "anak itu disana ya"

Nia mengangguk pasrah,

"sial sekali nasib anak itu," sahut ni Ika, "sejak pertama di rumah ini, anak itu tak pernah punya kawan selain teman sekamarnya, karena ia berteman dengan mereka" 
"mereka" ni Ika tersenyum lesuh, "ia selalu bercerita, ada bayi-bayi kecil yg selalu menemaninya bermain, membuatnya dikucilkan dan dijadikan sumber masalah, sampai ia masuk ke kamar itu dan mendapati penghuni kamar"

"Momok" kata Nia, 
"butuh waktu berbulan-bulan dulu, untuk membuatnya bisa menjadi seperti sekarang, karena setiap kali ia mengingat kejadian itu, trauma yg membuatnya tidak bisa bicara lagi akan kembali, selama ini, aku yg menyembunyikan dia di kamar agar ia tidak menemuimu dulu," 
"namun, ia pergi lagi dan bersikeras membantumu, Silvi anak yg baik Nia, sama seperti kamu" "setidaknya, biarkan Silvi bersamanya, ia tidak sendirian" ni Ika menuntun Nia, memperhatikan kamar itu, sebelum meninggalkan tempat itu. 
"pagi-pagi sekali, kamu harus langsung pergi darisini, tempat ini tidak bagus lagi untuk kamu tinggal, pun dengan keadaan Silvi setelah ini, maaf Nia, kamu nurut saja ya" bisik ni Ika, sebelum ia, menutup pintu. 
namun, setelah berjam-jam Nia mencoba menutup mata, ia terbayang wajah Silvi, gadis itu, tahu banyak tentang tempat ini, namun, ia menutupi semua, menyimpannya rapat-rapat, hingga, terdengar suara bising dari luar kamar 
Nia mendekat ke jendela, menatap 2 pamong, mengangkat seseorang, memasukkanya dalam mobil, lantas kemudian pergi, Nia berjalan mundur, ia tahu, siapa yg ada disana.

"Silvi" 
pagi-pagi buta, Nia tidak tidur semalaman, ia melihat ni Ika, menatapnya biasa saja, seakan tidak mengatakan apapun, begitupun Nia, ia tidak membicarakan apapun yg ia lihat, lantas, kemudian ia mengatakannya, "kamu bisa pergi, sekarang" 
sebelum meninggalkan tempat itu, Nia terdiam menatap foto, memandanginya lama, lantas kemudian berjalan pergi, "nanti ada keluarga yg akan menerima kamu sama baiknya seperti kami menerima kamu, jaga diri baik-baik, satu lagi, Silvi baik-baik saja"

"bohong" batin Nia, 
namun Nia tidak mengatakannya, ia pergi seperti perintah, namun, bila memang gadis kecil itu baik-baik saja, maka setidaknya Nia ingin bertemu sekali saja, namun, hal itu, tidak akan terjadi, Nia pergi, meninggalkan tempat itu, mengunci dirinya sendiri dengan segala hal buruk 
rahasia apapun yg dimiliki rumah itu, Nia merasa seperti memang sengaja tidak di ungkap, namun satu yg ia pelajari, bila memang dulu, rumah itu adalah tempat untuk pijat aborsi, apakah, selamanya mereka yg gagal untuk lahir, terus dan terus akan membayangi sisi rumah ini, 
entahlah, Nia pergi dan tidak akan menengok rumah itu lagi, tidak, bahkan hingga saat ini, 
terimakasih buat kontributor yg cerita tentang cerita ini, gara-gara cerita ini, saya jarang tidur, tapi apapun itu, saya pribadi mengucapkan banyak sekali terimakasih, ntuk kontributor yg mengirim ceritanya di DM, lain kali saya baca ya kalau senggang, saya mau rehat 
rehat sebentar saja ya,

btw, saya mau tanya, kemarin ada yg ngomong "LEMAH LAYAT" padahal, perasaan saya belum pernah bahas ini bukan ya?? kok bisa tahu,

kita adu, LEMAH LAYAT apakah bisa mengalahkan SEWU DINO, tunggu aja, kali ini, saya akan serius dalam menggarapnya 
sebuah fenomena tentang "LEMAH LAYAT"yg menjadi salah satu cerita wajib di tanah jawa, tunggu saja ya,


btw, saya pergi dulu ya, terimakasih, selamat malam. 

Posting Komentar

0 Komentar